TUGAS KLIPING ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
CANDI
BOROBUDUR
DISUSUN OLEH:
LAURENTIUS ELDA FEBRIANSA
21
8A
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa,atas rahmat dan karuniaNya saya dapat membuat tugas kliping
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial mengenai Candi Borobudur.
Kiping ini memuat beberapa hal
mengenai Candi Borobudur, yang disusun secara ringkas agar mempermudah saat dipelajari.Kliping
ini juga disertai dengan beberapa gambar sebagai ilustrasi bagi pembaca agar
dapat lebih memahami isi dari penjelasannya.
Semoga dengan dibuatnya kliping ini
dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca,dan menjadi bahan untuk diskusi
bagi pembaca.
Akhir kata,semoga kliping ini bisa
bermanfaat bagi pembaca, dan bisa menambah wawasan bagi pembaca.
Cimahi,19 Februari 2011
Penulis
Laurentius Elda F
CANDI BOROBUDUR.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha di Borobudur,
Magelang,
Jawa
Tengah. Candi ini berada di 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Dalam etnis Tionghoa,
candi ini disebut juga Hanyu Pinyin dalam bahasa Mandarin.
Arti
Nama Borobudur
Banyak
teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya
menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara)
yang lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang
karena pergeseran bunyi menjadi borobudur.
Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara
konon berasal dari kata vihara,
sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya kompleks candi atau
biara dan beduhur artinya ialah
"tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah
sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī
Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra.
Istilah Kamūlān sendiri berasal
dari kata mula yang berarti
tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur
dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti
"Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah
nama asli Borobudur.
Struktur
Borobudur
Candi Borobudur memiliki struktur
dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga
pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya
beberapa stupa.
Sepuluh pelataran yang dimiliki
Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau
"nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief
di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini
patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau
selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh
dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud).
Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah
bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang
ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang
menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan
tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar
ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga
unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha
bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk
kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja
Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia
Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang
pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang
merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat
demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari
bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock
yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di
setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini
dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa
Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain
relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini
senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke
timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada
kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut
menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri
(serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai
korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap
perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya,
tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan
manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai
tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang
Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap
) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari
tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut
hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama,
yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang
Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma
dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang
Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok
penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan
persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya
hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa,
melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab
Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka
dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang
sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair
Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi
dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah
dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh
Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan
cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar